Tuesday, March 11, 2008

Taiko (Yoshikawa Eiji)

Sebagian orang suka dengan kisah seseorang yang tertindas, terus mengatasi berbagai kesulitan hidup, dan akhirnya sukses besar. Lebih bagus lagi kalo “seseorang” itu adalah orang yang benar-benar nyata, orang yang benar-benar pernah hidup di dunia ini. Taiko ini cerita yang seperti itu. Kisah ini menggambarkan perjalanan hidup Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), mulai dari masa kecilnya sebagai anak seorang petani miskin (sebenernya sih mantan samurai) di Owari, pengembaraannya sampai menjadi pelayan Oda Nobunaga dan akhirnya jenderal kepercayaan Nobunaga, perjuangannya mempersatukan Jepang setelah kematian Nobunaga, hingga menduduki tampuk kekuasaan sebagai Taiko--penguasa pemerintahan Jepang.

Lagi-lagi aku terpesona dengan kemampuan Yoshikawa-sensei memanusiakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah. Dia menginterpretasikan motivasi para tokoh di balik tindakan mereka yang spektakuler, kejam, ato edan. Misalnya aja langkah Nobunaga di Gunung Hiei, ketika dia membantai semua penghuni tempat itu: para biksu, penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Tindakan, yang dilihat dari sudut mana pun, sadis, terutama bagi orang awam yang gak tau apa-apa soal sejarah Jepang seperti aku. Tapi, Yoshikawa-sensei menunjukkan bahwa Nobunaga melakukan itu semata-mata untuk memperingatkan semua--terutama para biksu yang saat itu dianggapnya udah “keluar jalur” karena lebih mengutamakan penumpukan kekayaan dan kekuasaan bagi sekte mereka sendiri daripada memberikan pencerahan bagi rakyat--bahwa gak ada kaum yang lebih istimewa daripada yang lain, dan bahwa dia benar-benar serius dalam mewujudkan cita-citanya, gak ada siapa pun yang bisa menghalanginya.

Malah, penaklukan Hideyoshi (sebelumnya Nobunaga) mengingatkanku akan Gajah Mada. Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu pingin mempersatukan Jepang karena mereka sadar, hanya di sebuah negeri yang bersatulah--bukan di negeri yang terpecah-oleh perang saudara berkepanjangan akibat keinginan para penguasa feodal untuk memperluas wilayah mereka--rakyat bisa hidup damai. Dalam perang, rakyat jelatalah yang selalu paling menderita, dan mereka ingin hal itu diakhiri. Oleh sebab itu, seluruh penguasa feodal harus ditundukkan. Itulah sebabnya Nobunaga menginvasi wilayah selatan--bukan cuma provinsi-provinsi tetangga Owari--meskipun langkah ini menimbulkaan ketidaksenangan yang luar biasa dalam diri sebagian besar orang. Gajah Mada juga sama. Dia acapkali bertindak brutal (ingat Kerajaan Pajajaran dan Dyah Pitaloka?) guna mewujudkan cita-citanya mempersatukan Nusantara. Tapi, semua itu dalam rangka membangun sebuah negeri yang kuat, yang bersatu. Tindakannya gak selalu bisa dibenarkan, namun bisa dipahami.

“Pemanusiaan” lain juga tampak pada karakterisasi tokoh-tokohnya. Meskipun lihai di medantempur, Hideyoshi juga digambarkan sebagai orang yang berpembawaan santai--gak seperti jenderal-jenderal lain--banyak omong, ceria, dan juga, ehm, mudah tergoda oleh wanita (meskipun tampangnya konon mirip monyet).

Kelemahan buku ini--kalo emang bisa dibilang kelemahan--adalah tokohnya yang sangat amat banyak banget. Sepertinya sih Yoshikawa-sensei hobi memasukkan banyak tokoh ke dalam ceritanya, entah kenapa. Soalnya karya Yoshikawa-sensei yang lain, Shin Héike Monogatari (yang terjemahannya, The Héike Story, udah kubaca) dan Musashi (yang drama taiga-nya pernah kutonton) juga kayak gitu. Mungkin itu karena Yoshikawa-sensei menganggap bahwa semua tokoh penting, bahwa pembaca bisa mengambil pelajaran dari semua tokoh sekecil apa pun perannya, dan adakalanya emang seperti itu. Misalnya aja keluhuran budi seorang pelayan tersia-sia (sering dicuekin bosnya) yang rela mengorbankan diri selaku pengalih perhatian supaya majikannya bisa mundur, padahal orang-orang yang diunggul-unggulkan sang majikan udah pada lari entah ke mana. Tapi, aku gak ngerti kenapa tokoh-tokoh yang hanya tampil untuk teriak “Bersiaplah! Aku akan membunuhmu!” ato menggosok punggung majikannya dimunculkan juga, lengkap dengan nama mereka.

Meskipun jumlah tokohnya yang berjibun bikin pusing dan adegan perang terus-menerus di pertengahan sampai akhir cerita membuatku bosen, cerita ini jelas jauh lebih baik daripada fiksi sejarah yang penuh anakronisme ato novel berbumbu teori konspirasi di sana-sini. Setidaknya begitulah menurutku.

Catatan:Ini kutipan favoritku dari Taiko: “Percuma mengharapkan cita-cita besar dari manusia berjiwa kerdil”. Dalem banget. Dan sayangnya, masih relevan sampai sekarang. Kita boleh mengklaim bahwa zaman sudah “modern”, tapi sebagian besar dari kita ternyata masih berpikiran terbelakang dan gak bisa memimpikan apa pun selain terpenuhinya kebutuhan fisik.

0 comments:

Post a Comment