Saturday, July 05, 2008

Nusantara: Sejarah Indonesia (B. M. Vlekke)

Siapa sangka kalo buku sejarah bisa jadi best seller? Padahal, buku non fiksi yang laku keras biasanya, kalo gak yang berbau spiritualisme (baik yang berafiliasi dengan agama tertentu maupun tidak), ya buku-buku psikologi praktis tentang pengembangan diri. Tapi, kalo Gramedia Merdeka bisa dipercaya (dengan menempatkan buku ini di rak best seller) dan cetak ulang dua bulan setelah cetakan pertamanya bisa dijadikan indikasi, maka Nusantara: Sejarah Indonesia emang sebuah perkecualian. Entah apa yang membuat buku singkat (meringkas perjalanan Nusantara sejak zaman batu sampai pra-pendudukan Jepang dalam kurang lebih 500 halaman) ini menarik bagi para pembeli (hey, aku kan gak bisa baca pikiran orang!). Yang jelas, buku ini menyodorkan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berbeda dengan versi standar, versi yang kita peroleh dari pelajaran di sekolah.

Hal yang dengan segera terlihat adalah kehati-hatian sang penulis dalam menafsirkan sumber sejarah. Masalahnya, bukti-bukti sejarah dari zaman dahulu kala yang berasal dari dalam negeri (Negarakertagama, Pararaton, dsb) acapkali: (1) Ditulis untuk menyenangkan/mengagungkan raja yang berkuasa saat itu sehingga bias dan pastinya gak akurat; (2) Penuh simbolisme, layaknya kesukaan orang Jawa (Pak Vlekke gak banyak menyinggung soal bukti sejarah dari dalam negeri non Jawa yang ditulis oleh penduduk asli, maaf; mungkin karena gak ada). Oleh sebab itu, gak semua pernyataan bisa diartikan secara harfiah. Contohnya adalah pemotongan hidung-kuping utusan Mongol atas perintah Kertanegara (raja terakhir Singosari). Vlekke berpendapat bahwa hal ini tidak perlu ditafsirkan secara harfiah karena hal tersebut hanyalah perumpamaan atas besarnya penghinaan (dan keberanian) Kertanegara terhadap Kubilai Khan, yang saat itu adalah penguasa Cina, imperium terbesar di Dunia Timur.

Mungkin karena kehati-hatiannya itu, Vlekke gak menunjukkan kecenderungan memuji-muji tokoh-tokoh besar. Waktu belajar di sekolah, banyak pahlawan yang terkesan heroik banget--rela memperjuangkan bangsa dan negara (padahal dulu “bangsa” dan “negara”; setidaknya belum ada menurut pengertian modern) dengan sepenuh jiwa dan raga supaya bebas dari cengkeraman penjajah Belanda yang jahat. Padahal dalam banyak kasus, mereka tampaknya berusaha melawan Belanada karena khawatir kekuasaannya terancam, bukan karena merasa tertindas. Sultan Agung, misalnya, yang menyerang Belanda di Batavia karena mereka mengancam dominasinya di Pulau Jawa. Di sisi lain, para “penjahat” dalam buku-buku pelajaran SD/SMP/SMA pun digambarkan tak jauh berbeda dengan para pahlawan (pokoknya mah oportunis), seperti Aru Palakka dari Bone yang bersekutu dengan Belanda (ato sebaliknya?) untuk menyerang Makassar sebagai pembalasan dendam/serangan balik karena daerahnya direbut dan ia diusir dari (bekas) wilayah kekuasaannya. Sebagai catatan, tau gak kalo pada saat Aru Palakka mendarat di pantai Bone, para penduduk serta merta menyatakan pemberontakan terhadap Makassar.

Layaknya paparan sejarah, ada kisah-kisah yang “kena” banget karena masih relevan dengan masa kini, antara lain konflik di Maluku antara penduduk asli beragama Islam (pengikut Ternate-Tidore) dan Kristen (pendukung Belanda; yah, namanya juga seiman), kesewenang-wenangan/kebrutalan calon raja yang konon justru menandakan kesemidewaannya (menurut dia, dan rakyat--yang percaya-percaya aja), serta Belanda membarter Semenanjung Malaya dengan Bengkulu plus Pulau Belitung (asalnya “milik” Inggris) dengan seenaknya seperti anak SD main monopoli.

Tentu saja, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam membaca sejarah, kita gak bisa ngandelin satu sumber aja. Kita perlu menelaah banyak bukti untuk memperoleh fakta yang (lumayan) valid guna menghindarkan diri dari ketidakakuratan dan juga ketidakobyektifan penulis sumber, baik yang disengaja maupun tidak. Akhir kata, kuucapkan selamat untuk Pak Vlekke (orang ini udah meninggal belum sih?) karena udah bikin aku makin penasaran dengan sejarah negeri ini--hal yang tak berhasil ditumbuhkan oleh guru sejarahku selama dua belas tahun.

0 comments:

Post a Comment