Sunday, August 31, 2008

Kompeten dan Siap Kerja

Inilah kata-kata yang sedang digandrungi orang-orang yang berkecimpung di dunia "pendidikan": kompetensi, sertifikasi, vokasional, kewirausahaan. Benar-benar kata-kata teknis yang sama sekali tak menyentuh soal pembentukan nilai-nilai dan dan karakter, yang hanya bisa dipikirkan oleh seorang menteri berlatar belakang ekonomi yang, sewajarnya, hanya terbiasa memikirkan tentang perduitan dan masalah ekonomis lainnya, serta hasil akal-akalan pemerintah yang, karena gak bisa menyediakan peluang mendapatkan pendidikan dan penghidupan buat rakyatnya, sebenernya nyuruh masyarakat untuk menyediakan pekerjaan buat dirinya sendiri.

Seluruh kata di atas berkaitan erat dengan masalah per-"pasar"-an (yang sampai sekarang tak kumengerti artinya). Kompetensi dan sertifikasi diperlukan untuk memastikan agar yang bersangkutan sungguh memiliki daya saing untuk berkompetisi dengan sesama tenaga kerja lainnya di pasar lokal dan global. Pendidikan vokasional (baca: di sekolah kejuruan) harus ditumbuhkembangkan karena menyediakan tenaga-tenaga siap pakai yang dapat memenuhi permintaan pasar. Jiwa kewirausahaan sepatutnya ditanamkan dalam diri setiap orang agar dia mampu menghasilkan peluang kerja bagi dirinya sendiri dan orang lain; apalagi karena pengusaha adalah ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Kebayang kan?

Mungkin karena ekonomi adalah masalah yang paling kritis di Indonesia, sekarang ini yang paling paling dipedulikan Depdiknas, sekolah, serta lembaga pendidikan adalah "mencetak penghasil duit". Tau kan, gimana caranya supaya setelah lulus orang tuh terampil sehingga ada yang mau mempekerjakan dia. Kalo pun gak ada, paling enggak dengan keterampilan dan "jiwa kewirausahaan" mereka, mereka bisa bikin usaha sendiri. Singkat kata, gimana caranya supaya orang gak nganggur.

Bukannya pola pikir mereka salah, tapi bukannya pendidikan itu adalah perkara membuka potensi? Bukankah setiap orang punya bakat sendiri-sendiri, yang berbeda dengan bakat orang lain? Memang ada orang yang berbakat jadi pebisnis, mekanik, analis, ato akuntan, tapi ada juga orang yang lebih tokcer sebagai pelukis, penulis, astronom, ato arkeolog. Pendidikanlah yang semestinya menyadarkan setiap siswa akan bakat terpendam ato potensi khas yang mereka miliki. Jangan maksain semua orang jadi wirausahawan ato teknisi hanya karena profesi itu yang dianggap paling sesuai permintaan "pasar" ato tuntutan zaman. Toh kalo setiap orang berkesempatan mempelajari apa yang paling cocok untuknya, bidang tersebut pasti dikuasainya dengan (relatif) mudah dan pekerjaan pun pasti bakal mudah didapat karena dia benar-benar "kompeten".

Jadi, jangan salahkan orang tua yang ngeluarin anak-anaknya dari sekolah dan lebih milih nyuruh mereka bekerja dong. Daripada nunggu sekian tahun hanya supaya si anak bisa dapet kerja, mendingan si anak diberdayakan secepat mungkin. Gak ada bedanya kan, pola pikir ortu macam ini dengan Depdiknas dan antek-anteknya yang cuma ingin mencetak orang-orang "kompeten" siap kerja ato wirausahawan penghasil lapangan kerja?

0 comments:

Post a Comment